Oleh: Nazli*
POLEMIK penambahan anggaran Rp 38 miliar untuk Stadion Swarnabhumi dan Islamic Center Jambi menyingkap satu persoalan mendasar: prioritas pembangunan daerah yang kabur. Di tengah kondisi APBD yang “anjlok”, publik justru disuguhi rencana penambahan dana ratusan miliar untuk proyek mercusuar yang belum jelas manfaat langsungnya bagi rakyat.
Fraksi PKS DPRD Jambi dengan tegas menolak. Alasannya sederhana: proyek masih dalam masa pemeliharaan hingga 2026, sehingga tak masuk akal jika sudah disuntik dana baru. Logika ini jelas, karena selama masa pemeliharaan seharusnya semua kekurangan dan kerusakan masih menjadi tanggung jawab kontraktor. Pertanyaannya: jika fasilitas masih butuh tambahan anggaran sekarang, apakah proyek ini memang direncanakan dengan matang sejak awal, atau justru ada kesalahan fatal dalam perencanaan?
Pihak Pemprov berdalih penambahan ini sah secara regulasi, bukan lagi multiyears, tapi “tahun tunggal” untuk melengkapi fasilitas. Jawaban normatif seperti ini justru menimbulkan tanda tanya: fasilitas apa yang belum lengkap? Mengapa baru disadari setelah proyek dinyatakan selesai? Tanpa transparansi, publik berhak curiga bahwa penambahan ini bukan sekadar kebutuhan teknis, melainkan ruang baru bagi praktik markup anggaran.
Ironisnya, berita ini tidak menampilkan suara rakyat. Padahal masyarakat Jambi lebih mendesak butuh jalan mulus, layanan kesehatan memadai, dan pendidikan berkualitas ketimbang stadion megah atau Islamic Center yang seremonial. Apakah pemimpin daerah sedang berlomba membangun monumen kebanggaan, sementara rakyat dibiarkan berjibaku dengan masalah sehari-hari?
Kita harus waspada. Sejarah pembangunan di negeri ini penuh dengan proyek mercusuar yang akhirnya mangkrak, memboroskan uang rakyat, bahkan jadi ladang korupsi. Pernyataan pejabat yang siap “bertanggung jawab jika ada masalah hukum” seolah jadi pembenaran dini bahwa risiko penyimpangan itu nyata.
Karena itu, publik perlu menagih transparansi: Tunjukkan dokumen kontrak dan masa pemeliharaan proyek. Rincikan kebutuhan tambahan Rp 38 miliar itu secara detail. Bandingkan dengan prioritas belanja publik lain yang lebih urgen.
Tanpa itu semua, penambahan anggaran ini hanya layak disebut satu hal: kemewahan yang dipaksakan di atas penderitaan rakyat.
*pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi




